Langkahpertama, diskusikan dengan pihak yang menawarkan kerja sama daerah (KSD) secara mendalam utamanya tentang: objek yang akan dikerjasamakan, kegiatan apa saja yang akan dilaksanakan, ruang lingkup kerja sama, manfaat dan pembiayaan.Pastikan pula pembagian hak dan kewajiban di antara para pihak sesuai dengan kewenangan masing-masing. Langkah kedua.
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. Aksi damai sebenarnya merupakan suatu tindakan yang dilakukan untuk memprotes suatu keputusan atau kebijakan yang dirasakan bertentangan dengan sistem atau tata cara suatu komunitas atau bahkan orang banyak. Sesuai dengan namanya, maka aksi damai tentunya dilakukan dengan cara-cara tanpa kekerasan dan selalu mengikuti aturan yang ditetapkan oleh Pemerintah dan tentunya hukum dalam hal berunjuk demonstrasi, pada dasarnya hampir sama dengan maksud dan tujuan dari aksi damai. Akan tetapi demonstrasi masih memiliki dua cara, bisa dengan damai tetapi bisa juga disertai dengan tindakan-tindakan yang mengarah pada tekanan dengan mengkondisikan suatu suasana paling penting dimaknai di sini adalah latar belakang dan motivasi dari munculnya suatu aksi damai ataupun demonstrasi. Seperti yang sudah disebutkan di atas tadi, bahwa alasan utama kedua hal ini terjadi adalah karena adanya ketidaksetujuan dan penolakan terhadap suatu sistem ataupun kebijakan yang diterapkan. Sebenarnya jarang sekali suatu aksi damai atau demonstrasi yang masif terjadi secara tiba-tiba. Biasanya hal ini didahului oleh pernyataan-pernyataan di media-media ataupun forum-forum diskusi dan konferensi. Jika dilihat nuansa pada saat ini dimana aktivitas harian individu sudah sangat dipengaruhi oleh media sosial medsos, maka biasanya hal ini dimulai dengan postingan-postingan di medsos yang bernada protes atau penolakan. Tentunya di tengah arus informasi yang sangat deras saat ini, bahkan disertai dengan lompatan-lompatan teknologi media, maka tidak bisa lagi dihindari munculnya berbagai ekspresi dan unjuk rasa, baik secara pribadi dengan postingan-postingan ringan, maupun dengan narasi yang runut bahkan disertai dengan kronologi masalah yang ataupun yang memerintah biasanya menjadi sasaran yang paling sering menerima aksi damai ataupun demonstrasi ini. Meskipun demikian suatu bentuk sistem yang lain juga tak terlepas dari hal ini, misalnya suatu organisasi ataupun badan hukum dan dari pro dan kontra, aksi damai dan demonstrasi adalah suatu realita yang tak dapat dihindari. Oleh karena itu, sangatlah penting untuk menangani hal ini dengan cara-cara yang elegan dan melakukan suatu pendekatan kekeluargaan. Bukan dengan cara menantang bahkan mengancam, hal ini malah akan makin memicu munculnya aksi damai dan demonstrasi yang lebih masif yang dapat diambil sebenarnya sangatlah sederhana. Yaitu baik untuk keduabelah pihak sebaiknya menghindari suatu tindakan atau cara-cara yang memaksakan kehendak. Pihak yang di demo dan pihak yang melakukan demo, sebaiknya tidak memaksakan secara keseluruhan kemauan masing-masing. Carilah titik temu atau bahkan untuk sementara dapat saja dilakukan suatu "gencatan senjata" untuk mendinginkan suasana. Hal ini sangatlah penting, karena apapun itu baik aksi damai maupun demonstrasi dapat berubah menjadi suatu tindakan dan tragedi yang anarkis jika kita salah menanganinya. Tentunya kita harus yakin bahwa masih banyak pihak yang tetap memiliki kebijaksanaan dan selalu mencari suatu "win-win solution" sehingga kemenangan bersamalah pada akhirnya yang di rakyat dan bangsa kita Indonesia tercinta ini akan makin bijak dan matang bila berhadapan dengan suatu situasi aksi damai dan demonstrasi. Sekali lagi hindarilah pemaksaan kehendak, apapun pendapat kita yang menurut kita itu sudah terbaik dan menurut hukum yang berlaku, tetapi ternyata sangat besar yang melakukan penolakan, bahkan lebih besar daripada kelompok yang mengusulkan. Maka sebaiknya secara bijaksana menahan diri dan tidak bersikeras, yang pada akhirnya nanti malah akan merugikan rakyat dan bangsa kita Indonesia Bangsaku Indonesia! James Allan RarungRakyat Indonesia Lihat Politik Selengkapnya
Selainitu, bagi yang menggunakan merek yang sama dengan merek milik orang lain dapat dikenai sanksi pidana (Pasal 100 sampai Pasal 102 UU Merek). Ketidaktahuan atau ketidaksengajaan bukan menjadi alasan untuk membenarkan perbuatan tersebut. Apabila suatu undang-undang telah diundangkan, maka setiap orang dianggap tahu (asas fiksi hukum).
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. Aksi dan DemonstrasiEdy Nugraha Sering di suatu universitas, mahasiswa dalam menyikapi suatu isu, biasanya mereka melakukan aksi. Misalnya saja seruan aksi tolak UU BHP. Beberapa hari yang lalu pula saya mendengar obrolan orang lain bahwa ada demonstrasi di depan DPR. Kedua pernyataan tersebut merujuk pada hal yang sama, namun ada beberapa perbedaaan makna. Demonstrasi adalah pernyataan protes yang dikemukakan secara massal; unjuk rasa KBBI Edisi Ketiga 2007. Masyarakat memang kerap menggunakan kata ini ketika melihat segerombolan orang yang berbondong-bondong membawa spanduk, meneriakkan seputar masalah-masalah yang sedang terjadi di Indonesia. Dilihat dari artinya, kata demonstrasi memiliki konotasi negatif, yaitu pada kata protes yang berarti ketidaksetujuan, penentangan, dan penyangkalan. Aksi adalah gerakan, tindakan, dan sikap KBBI Edisi Ketiga 2007. Kata ini lebih bermakna netral dan luas dibandingkan kata demonstrasi karena aksi tidak selalu protes, bisa saja sebagi dukungan ataupun tuntutan yang sama sekali berbeda dengan makna protes. Demonstrasi merupakan bagian dari aksi karena hal itu adalah salah satu bentuk tindakan. Maka sering kita dengar di media massa “aksi demonstrasi” atau “aksi unjuk rasa”. Mungkin ini merupakan alasan mahasiswa lebih suka menggunakan kata aksi. Oh iya, aksi—dalam istilah politik Belanda ketika memerangi Indonesia untuk menjadikan jajahannya—berarti gerakan yang bermaksud memulihkan keamanan. Nah, jika dalam aksinya mahasiswa sering menimbulkan kericuhan, sesungguhnya siapa yang sering melakukan aksi? Yap, jawabannya adalah aparat keamanan atau polisi. Lihat Bahasa Selengkapnya
Gerakan donasi sayur ini semoga bisa menginspirasi pihak-pihak lain untuk bisa melakukan hal yang sama atau mirip. Dalam hal ini banyak pihak yang terbantu & diuntungkan. Mereka adalah para penjahit (tas), petani sayur yang tidak mampu memasarkan sayurnya karna terdampak Covid-19, panti asuhan, panti jompo, dan dapur umum.
NilaiJawabanSoal/Petunjuk KOAKSI Sama sama melakukan aksi terhadap pihak lain SERENTAK Bersama sama melakukan sesuatu TIGA Satu tambah dua sama dengan ... BEKERJA ... ~ bakti melakukan suatu pekerjaan baik secara bersama-sama maupun sendiri-sendiri dengan suka rela untuk kepentingan umum sebulan sekali rakyat di k... KERJA 1 n aktivitas, gawai, kegiatan, operasi, pekerjaan; 2 faal, fungsi; - paksa kerja raja, korve, rodi; - sama kolaborasi, kooperasi, partisipasi PERINTAH ...di daerah tingkat I; ~ kembar dua pemerintahan bersama-sama menguasai suatu daerah; ~ sipil pemerintahan yang dipegang oleh orangorang sipil bukan pe... IDENTIK Sama benar BARENG Bersama Sama GOTONG ROYONG Bersama sama melakukan sesuatu GOTONGROYONG Bekerja sama melakukan sesuatu MERAMAI-RAMAIKAN Mengerjakan atau melakukan bersama-sama; ULANG Melakukan kembali hal yang sama TERSAMBIL Dilakukan bersama-sama dengan melakukan peker-jaan lain; RENTAK, SERENTAK Bersama-sama melakukan sesuatu; serempak mengadakan serangan ~; BILATERAL Orang dari dua belah pihak berbeda yang bekerja sama BIPARTIT Orang dari dua belah pihak berbeda yang bekerja sama PARTNER Orang dari dua pihak yang berbeda yang bekerja sama SINDIKAT Kelompok orang yang bekerja sama untuk melakukan tindakan kriminal PULIK Kedua belah pihak sama kuatnya; sama untungnya; sama taranya RANTAM, BERANTAM Beramai-ramai, berderau, bergotong royong, bersama-sama MENGULANGI Melakukan kembali hal yang dahulu dia selalu ~ hal yang sama; TROIKA Bentuk kepemimpinan suatu organisasi yang dijabat oleh tiga pihak dengan peran yang sama ENTENTE Persetujuan antara dua negara atau lebih dalam melakukan tindakan atau kebijaksanaan kerja sama BERAMAI-RAMAI Melakukan sesuatu bersama-sama orang datang - ke tempat kecelakaan itu, sehingga lalu lintas macet; MEMPERSAMA-SAMAKAN 1 mencocokcocokkan yang satu dengan yang lain; 2 melakukan sesuatu bersama-sama dengan orang banyak;
Aksinyata yang dilakukan adalah "Meningkatkan minat, wawasan, dan mengubah pola pikir murid melalui program literasi" sebagai bentuk implementasi aksi nyata modul 3.3 Pengelolaan Program yang berdampak pada murid. Salah satu pendekatan berbasis kekuatan yaitu Inkuiri Apresiatif dengan tahapan BAGJA supaya dapat menemukan data yang valid.
Tembagapura, 3 Juni 2017 Akhir-akhir ini masyarakat dihebohkan oleh satu istilah baru yang diperkenalkan oleh media. Istilah itu adalah persekusi yang merujuk pada tindakan penggerudukan massa ormas kepada individu-individu yang disinyalir melakukan penghinaan terhadap golongan agama atau masyarakat tertentu di media sosial. Banyak orang bertanya-tanya apa itu persekusi? Karena istilah ini tidak dikenal sebelumnya, dan bukan bahasa yang dipakai secara umum sehari-hari. Bagi saya pertanyaannya kemudian, apakah istilah baru ini tepat atau tidak dipergunakan dalam melaporkan peristiwa yang terjadi? Karena sering kali media menggunakan istilah-istilah yang kurang sesuai dengan peruntukannya, dimana terjadi pergeseran makna, oversimplifikasi, ataupun over-exaggeration/lebay. Secara kebahasaan, definisi persekusi adalah opresi atau kekerasan atau perlakuan buruk dikarenakan perbedaan ras, atau keyakinan politik atau keagamaan. Istilah ini diadopsi ke dalam Bahasa Indonesia dengan pengertian pemburuan sewenang-wenang terhadap seorang atau sejumlah warga dan disakiti, dipersusah, atau ditumpas’. Adapun pengertian operasionalnya seperti diterangkan dalam Piagam Roma adalah sebagai berikut “persekusi adalah tindakan-tindakan yang “dilakukan sebagai bagian dari serangan yang tersebar atau sistematis yang ditujukan kepada populasi sipil, dengan pengetahuan akan serangan tersebut“… Tindakan-tindakan tersebut terdiri dari pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran, penahanan, penyiksaan, kekerasan seksual, diskriminasi, dan tindakan di luar perikemanusiaan lainnya.” Dari pengertian di atas, nampaknya tindakan yang dilakukan ormas maupun oknum anggota ormas terhadap pelaku penghinaan kurang tepat apabila dikatakan sebagai persekusi. Dalam hal ini, sebuah aksi persekusi haruslah memenuhi beberapa kategori berikut Persekusi dilakukan oleh pihak yang lebih besar dengan dukungan atau pembiaran dari otoritas penguasa sewenang-wenang. Persekusi dilakukan kepada pihak-pihak lain murni karena kebencian yang melakukan persekusi karena perbedaan dalam hal pandangan agama, pilihan politik, etnisitas, budaya, dan lain-lain. Orang atau kelompok yang melakukan persekusi terlatih dan dibentuk khusus untuk melakukan tindakan-tindakan di atas. Tindakan yang termasuk persekusi antara lain pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran, penahanan, penyiksaan, kekerasan seksual, diskriminasi. Sedangkan dalam kasus yang terjadi belakangan ini, bisa dilihat bahwa otoritas penguasa melalui aparat justru sangat melindungi individu yang menjadi “korban”. Sebagai catatan, saya menempatkan tanda kutip karena masih sangat bisa diperdebatkan apakah mereka benar-benar korban atau bukan. Dalam hal ini, aksi yang dilakukan tampaknya bukan berdasar hanya pada kebencian karena perbedaan agama atau pandangan politik atau entitas etnis, namun berdasar pada apa yang dilakukan “korban” yang memprovokasi kelompok masyarakat untuk melakukan aksi tersebut. Sebuah tindakan dinamakan persekusi apabila dilakukan merata kepada seluruh pihak yang memiliki pandangan sama dengan para “korban”, ini yang perlu digarisbawahi. Apa pun itu, dalam judul artikel ini saya masih menggunakan istilah “persekusi” dalam tanda kutip semata untuk memudahkan pembahasan. Satu hal yang dilupakan oleh media adalah bahwa “persekusi” ormas atau massa ini hanyalah sebuah reaksi dari aksi provokasi para “korban”. Secara kasat mata, status dan unggahan video yang mereka posting di akun sosial media mereka dapat dikategorikan sebagai ujaran kebencian sebagaimana diatur dalam UU ITE. Para “korban” rupanya lupa, atau pura-pura lupa??, kalau sosial media sosial adalah ruang publik, dan setiap aksi di ruang public akan memancing reaksi dari pengguna ruang lainnya. Para “korban” rupanya lupa, atau pura-pura lupa??, bahwa aksi postingan di dunia maya dapat mengundang reaksi di dunia nyata. Inilah hukum aksi reaksi yang berbeda dari hukum Newton yang mengatakan bahwa setiap aksi akan mendapatkan reaksi dengan jumlah energi yang sama. Dalam hubungan antar manusia, aksi yang dilakukan seseorang akan menuai reaksi dari orang lain dengan kekuatan dan bentuk yang tidak dapat diprediksi. Reaksi tersebut bisa jadi sebanding, lebih kecil, atau lebih besar kekuatannya dibanding aksi yang dilakukan tergantung pada kemampuan dan motivasi orang yang bereaksi, serta tergantung pada situasi dan kondisi yang terjadi saat itu. Para “korban” rupanya lupa, atau pura-pura lupa??, bahwa aksi di dunia maya tidak harus selesai di dunia maya, namun bisa berbalas reaksi di dunia nyata. Para “korban” rupanya lupa, atau pura-pura lupa??, bahwa kemampuan dan motivasi seseorang bisa jadi berlipat ganda ketika disinggung harga dirinya. Para “korban” rupanya lupa, atau pura-pura lupa??, bahwa aka nada implikasi-implikasi secara sosial maupun hukum yang harus dihadapi begitu mereka menekan tuts dan tombol di gadget untuk memposting status di timeline mereka. Saya tidak sedang memojokkan para “korban persekusi” akan aksi provokasi mereka. Pada dasarnya saya percaya bahwa seseorang wajib dijamin hak-hak menyatakan pendapatnya dan dilindungi dari tindak kekerasan pihak manapun. Yang jadi catatan adalah, hak menyatakan pendapat tidak boleh digunakan secara sewenang-wenang untuk mengungkapkan kebencian kepada orang lain ataupun melanggar harga diri orang lain. Saya mencoba mengingatkan kepada saya dan Anda bahwa selalu ada konsekuensi dari setiap keputusan yang kita buat. Saya selalu percaya bahwa tingkat kemanusiaan seseorang ditentukan dari kesediaannya untuk menanggung konsekuensi dari apa yang dia perbuat. Dan entah mengapa saya tidak menemukan kesediaan menanggung konsekuensi ini dari para “korban” “persekusi”. Para “korban” tampaknya hanya peduli perasaan menyenangkan ketika menumpahkan pemikiran, emosi, dan kebencian mereka tanpa peduli akan perasaan orang lain dan bagaimana orang lain akan bereaksi terhadapnya. Tampaknya mereka sama seperti kebanyakan kita, hanya mau menanggung konsekuensi yang menyenangkan saja. Dan ketika konsekuensi tidak menyenangkan muncul, kita berusaha menghindar atau meminta bantuan pihak lain untuk menghilangkannya, alih-alih kita menghadapinya sendiri sebagai bagian dari tanggung jawab pribadi. Ya, salah satu keunikan kita sebagai manusia adalah kita memiliki ego yang kuat untuk cenderung memilih hal yang mengenakkan diri dan tidak mau mengakui kesalahan kita sendiri. Di sisi lain, kita bisa melihat bagaimana seseorang atau sekelompok orang bisa larut dalam dorongan pembalasan dan pelampiasan dendam. Niat mulia untuk membela kehormatan sayangnya tidak disertai ketangguhan untuk menahan emosi dari sebagian oknum anggota ormas. Mungkin mereka lupa, atau pura-pura lupa??, bahwa ketika kita ingin mendapatkan keadilan namun dengan cara-cara yang tidak adil, maka keadilan itu tidak akan pernah kita dapatkan. Permasalahan yang mendasar di sini menurut saya bukanlah pada boleh atau tidaknya ormas tersebut menangani ujaran kebencian dengan konfrontasi secara langsung, tapi lebih kepada sejauh mana system dan perangkat hukum kita bisa meminimalisir potensi konflik yang dipicu oleh muatan ujaran kebencian di ruang publik. Lebih tepatnya, secepat apa aparat kepolisian bisa memproses terduga pelaku penghinaan atau ujaran kebencian secara hukum, sehingga tindakan-tindakan ekstra judisial bisa berkurang atau bahkan hilang sama sekali. Bukan hal yang aneh ketika aparat dipandang sangat lambat untuk merespons kasus-kasus semacam ini. Bahkan beberapa pihak ramai bersuara bahwa polisi berlaku tebang pilih dalam penegakkan UU ITE dan juga untuk kasus-kasus lainnya. Kasus “persekusi” yang terjadi akhir-akhir ini pun melahirkan tudingan bahwa polisi lebih berpihak kepada pihak yang melakukan provokasi dengan melakukan perlindungan kepada para “korban” namun lupa melakukan perlindungan kepada kebebasan dari kebencian yang menjadi hak dasar pihak lainnya. Dan hal ini seakan diamini dengan ditetapkannya status tersangka kepada pelaku “persekusi”, namun belum terdengar adanya proses hukum kepada “korban” sebagai pelaku penghinaan atau ujaran kebencian. Dan ketika persekusi sebenarnya berupa pengusiran dengan kekerasan, perusakan harta benda, hingga ancaman pembunuhan dialamatkan kepada golongan lain, aparat seolah tak berdaya bahkan untuk sekedar mengusutnya. Tudingan ketidakadilan yang dilemparkan kepada aparat kepolisian pun ujung tajamnya mulai diarahkan kepada rezim penguasa. Dan apabila isu ini tidak segera ditangani dengan hati-hati dan berkeadilan, bukan tidak mungkin pergesekan horizontal akan semakin membesar dan keutuhan bangsa ini berada dalam ancaman. Semoga bukan itu yang akan terjadi.
Kepala Divisi Humas Polri Irjen Pol Dedi Prasetyo menegaskan Tim Penyidik Tim Khusus Bareskrim Polri bekerja profesional.Dalam memeriksa Irjen Pol Ferdy Sambo dengan menerapkan asas "equality before the law" atau setiap warga negara diperlakukan sama di hadapan hukum. "Sama berlaku 'equality before the law' dan tim bekerja profesional dan independen," kata Dedi saat
. 458 30 499 193 191 249 293 492
sama sama melakukan aksi pada pihak lain